Sebuah mimpi, samar, masih teringat beberapa, tepat diujung pelupuk mataku..
Aku berkedip beberapa kali hanya untuk memastikan hari masih gelap. Ini pukul 4 dini hari. Tidak ada orang yang bangun pukul 3 pagi.
Only me.
Terdiam duduk ditepi ranjang reyot warisan keluarga, aku menghirup nafas panjang, kuhela dengan pelan. Tidak semua udara itu terbalas, kusimpan beberapa sebagian didalam paruku, sebagai bagian dari judul "pasokan oksigen untuk hari kiamat".
Walau masih dini hari, diluar terdengan suara kesibukan. Ya, makhluk malam memang terkenal selalu rajin bangun pagi. Itu adalah alarm natural untuk shalat subuh.
Kubasuh mukaku dan mengambil wudhu. Shalat dengan backsound kicauan burung, jika saja kau tau, itu adalah surga dunia. Ketika semua orang masih terlelap, aku memiliki waktu ku sendiri, ruanganku sendiri. Cukup, ini merupakan anugerah luar biasa di lingkunganku.
Kuakhiri shalat ku dengan doa dan harapan.
Kusadari aku termenung ketika kucing kesayangan keluargaku mengendus kakiku dengan hidungnya yang basah, aku tersenyum. Dia masih disini dan masih sayang padaku.
"Mau olah raga pagi, Tora?", sapaku padanya sembari mengelus perutnya yang dia sodorkan padaku.
Pintuku berderit, umurnya sama tua dengan ranjang warisan dikamarku.
Tampak pekarangan basah dengan sisa hujan tadi malam. Tora bergidik dan ia melirikku dari ujung matanya. Pesannya tersampaikan padaku untuk tidak mengajaknya keluar pagi ini. Basah, tentu saja kucing tidak suka air. "Kamu harus temani aku berjalan-jalan. Ku gendong deh, sini Tora?", kuulurkan lenganku untuk dipanjatnya. Dia biasa memanjatku jika aku menggunakan nada tertentu untuk memanggilnya.
Baru selangkah keluar dari pagar sulur antik; warisan juga tentunya; terdengar anjing tetangga menyapa Tora.
Aku suka dengan pagi, salah satunya karena aromanya, segar, bersih, dan.. tentu saja nostalgia.
Aku berjalan kearah utara semakin mendekati hutan pinus disebelah rumah.
"Hai, tante Barbara?", sapaku dengan senyum.
"Hai, Marlene. Seperti biasa ya, Tora minta digendong. Hmm.. Dasar kucing manja ",jawab tante Barbara dengan senyum keriput 80 tahun miliknya.
"Dia benci hujan", balasku seraya mengelus Tora.
Dengan lambaikan tangan tante seksi Barbara, aku meneruskan jalan pagiku.
Entah sudah berapa langkah aku memasuki hutan pinus ini sejak aku dapat berjalan dengan kakiku sendiri.
Here i am.. di spot kesukaanku, duduk diatas batang pinus yang tumbang dan termakan umur.
Bernyanyi sekerasnya. Melegakan tenggorokan.
Tora tidur dipangkuanku.
Never leave me alone.